Teks

" Selamat bergabung di BLOG KABAR CHOW

Mengenai Saya

Foto saya
Meliau, Kalimantan Barat, Indonesia
Carilah dulu kerajaan Allah dan kebenarannya, dan semuanya akan ditambah padamu.

Minggu, 12 Agustus 2012

Pang Suma Pejuang dari Meliau

Pang Suma (Pejuang Dari Meliau Kalbar)


Pang Suma adalah seorang tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang bergerilya di Kalimantan Barat. Pang Suma dikenal sebagai pejuang melawan penjajah Jepang. Hingga kini, tokoh pahlawan yang bernama Pangsuma, belum ada satu pun yang mengetahui di mana dan kapan ia lahir. Namun menurut penuturan cucu pengawal Pangsuma, Sera, atau lebih dikenal dengan Pang Ronda, menuturkan bahwa Pangsuma berasal dari dusun di Kecamatan Meliau bernama Nek Bindang. Pangsuma merupakan nama panggilan, dalam Bahasa Meliau merupakan penggabungan dua suku kata yakni Pang berarti bapak dan Suma adalah nama anaknya.

Pangsuma berjuang membebaskan Meliau dari penjajah Jepang, walaupun mati di tangan teman seperguruannya yang berkhianat karena bergabung bersama Jepang. Pang Ronda mengungkapkan cerita ini dari orang tua dan kakeknya, bahwa perjuangan Pangsuma memang benar-benar gigih.
“Pangsuma saat menginjak dewasa, sama dengan masyarakat lainnya berada di bawah kekuasaan Jepang yang mengharuskan para kaum laki-laki harus bekerja untuk Jepang (budak) membawa batang kayu berukuran besar dan pada saat itu banyak rakyat yang sering dipukul serta perlakuan lainnya yang tidak manusiawi bila tidak bekerja secara maksimal.
Latar belakang itulah, Pangsuma melawan ketidakadilan muncul dari hati dan mendapat dukungan dari rakyat. “Kita bekerja mati-matian untuk Jepang dan kita nanti mati juga untuk Jepang, dari pada kita mati untuk mereka kenapa kita tidak membunuh Jepang,” tutur Pang Ronda menirukan cerita kakeknya.
Rasa ingin membebaskan dari belenggu penjajah saat itu hanya dengan berbekal keberanian dan sebilah Sabur (sejenis mandau/parang panjang), Pangsuma berhasil membunuh pimpinan Jepang di tiga lokasi yakni Sekucing Balai Bekuak perbatasan Kabupaten Ketapang dan Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau, kedua di Desa Kunyil Kecamatan Meliau dan ketiga di pusat Kota Meliau sendiri yang merupakan basisnya Jepang.
Konon menurut cerita, seseorang dapat dikatakan jago atau pahlawan bila dapat membunuh musuh paling banyak serta membawa pulang kepalanya sebagai bukti. Karena di rasa Pangsuma merupakan satu sosok yang dapat membahayakan bagi Jepang, maka Jepang membayar teman seperguruan Pangsuma (pengkhianat) untuk membunuh Pangsuma, yakni ditembak dengan buntat kuali.
Pangsuma ditembak bersama adiknya, sang adik selamat namun Pangsuma meninggal dunia di bawah jembatan, yang saat ini berlokasi disebelah dermaga Meliau dan tidak jauh dari tempat itulah Pangsuma dimakamkan. Kini berdiri sebuah tugu yang diberi nama Tugu Pangsuma.
(Sumber: id.wikipedia.org/wiki/Pang_Suma)

Kamis, 11 Maret 2010

Nenek Renta Itu Berubah Jadi Kodok

Nenek Renta Itu Berubah Jadi Kodok
Jumat, 12 Maret 2010 | 08:28 WIB

Paula H. Valdujo/ USP Universidade de Sao Paulo/Pequi
ilustrasi Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Severianus Endi

PONTIANAK, KOMPAS.com — Legenda ini diperkirakan terjadi sekitar seratusan tahun lalu. Seorang nenek renta dalam masyarakat Dayak Punan, Kalimantan Timur, tiba-tiba berubah menjadi kodok dan hingga sekarang keturunan generasi kedua hidup di tengah-tengah masyarakat.

Wakil Ketua Persekutuan Lembaga Adat Dayak Punan Kaltim, Dollop Mamung (54), sangat yakin legenda itu bukan isapan jempol. Selain dirinya berasal dari suku Dayak Punan, Dollop juga kenal baik dengan satu di antara cucu sang nenek yang menuturkan kisah tersebut.

"Impian saya yang belum terwujud, yakni mengunjungi hutan rimba yang menjadi lokasi nenek tua itu berubah menjadi kodok," tutur Dollop dalam perbincangan dengan Tribun, Kamis (11/3/2010) di Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar).

Dollop merupakan delegasi masyarakat adat yang baru usai mengikuti sebuah workshop kehutanan di Kota Pontianak, Kalbar. Legenda yang lekat dalam budaya masyarakat Punan itu erat kaitannya dengan kearifan tradisi menjaga kelestarian hutan.

"Waktu itu, sekelompok keluarga hidup di sekitar hutan Marut. Mereka tidak berladang, tetapi hidup secara mubut. Artinya, hidup berpindah-pindah untuk berburu dan meramu," ucap Dollop memulai kisahnya.

Dalam kelompok kecil orang-orang Punan itu, ada seorang nenek renta atau adu' oroh dalam bahasa lokal. Saking rentanya, setiap kali kelompok itu berpindah tempat, adu' oroh digendong di punggung menggunakan kalong.

Kalong merupakan alat semacam keranjang terbuat dari rotan yang digunakan sebagai wadah hasil meramu. Suatu hari, adu' oroh meminta dirinya ditinggalkan saja di sebuah pondok.

"Adu' oroh kasihan dengan anak-cucunya yang kerepotan harus selalu menggendong dia. Tentu saja keluarganya menolak, tapi dia terus mendesak," kata Dollop.

Dengan terpaksa, anak-cucunya meninggalkan nenek itu di sebuah pondok. Namun, mereka selalu menjenguknya setiap usai mubut. "Tiga hari kemudian, ketika dijenguk, adu' oroh masih ada di pondok itu. Sepekan dan dua pekan, juga masih ada. Nah, sebulan kemudian, tiba-tiba saja adu' oroh lenyap," kata Dollop yang mendapatkan kisah ini dari cucu generasi kedua adu' oroh bernama Jonidy Apan (40) yang kini menjadi Kepala Adat Punan Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan.

Para anak-cucunya pun gempar dan segera mencari di sekitar pondok. Sosok renta yang sangat mereka cintai itu tak kunjung ditemukan.

"Sampai di bebatuan di pinggir Sungai Magong, mereka melihat selembar berat, yakni tikar khas Punan dari rotan. Di atas berat itu ada seekor ja'ui atau kodok besar," ujar Dollop yang juga mantan Ketua Harian Yayasan Adat Punan (YAP) ini.

Memang, ja'ui yang rata-rata bisa mencapai seberat 1 kilogram itu umum ditemukan di hutan sekitar. Tapi, kodok besar yang satu ini aneh dan istimewa.

Dia bisa berkata-kata layaknya manusia. Kodok besar itu duduk sambil menangis di atas tikar rotan yang terhampar di bebatuan tersebut.

"Jangan mencari saya. Inilah saya, adu' oroh kalian. Saya tidak apa-apa, jangan kalian risau," begitu ucapan sang kodok kepada sanak keluarga yang panik mencari dirinya.

Sang nenek berpesan agar anak-cucunya menjaga hutan itu dari kerusakan. Itu sebabnya, masyarakat Punan di situ tak melakukan pola berladang.

Hingga saat ini, masih ada komunitas Dayak Punan yang tinggal di sana dan tetap hidup dengan cara mubut. Lokasi itu persisnya di hutan Marut, Sungai Blusuh, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan.

Dulu, hutan rimba yang masih asli dan kaya keanekaragaman hayati itu mencapai ribuan hektar luasnya. Tetapi kini tinggal tersisa sekitar 50 hektar saja karena telah "dikepung" konsesi perusahaan kayu ataupun kelapa sawit.

"Sudah beberapa kali cucu adu' oroh mengajak saja ke lokasi itu untuk menjumpai ja'ui itu. Sayang belum pernah terealisasi. Kalau ikut serta cucunya, kita bisa bertemu beliau," kata Dollop.

Jarak hutan Marut sekira dua hari perjalanan dari Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. Kombinasi jalan kaki dan naik perahu kayuh di Sungai Magong, menembus hutan belantara.

Sejumlah bukti kian membuat Dollop yakin dengan kebenaran kisah itu. Sudah beberapa karyawan perusahaan dikabarkan hilang saat melakukan survei di hutan itu. Setelah dicari-cari, jangankan jenazahnya, jejaknya pun sama sekali tak berbekas.

"Makanya sampai sekarang, tinggal tersisa areal hutan Marut itu yang belum berani dirambah orang. Beberapa surveyor mereka hilang tak ada kabarnya. Adu' oroh tak suka hutan itu dirusak," katanya.

Karena legenda itu pula, keturunan adu' oroh tak boleh mengonsumsi daging kodok itu. Satwa itu memang dikenal memiliki habitat di kawasan tersebut.

Bagi kalangan masyarakat yang tak punya hubungan dengan adu' oroh, daging ja'ui bisa dijadikan lauk. Asalkan kulit dan tulangnya dipisahkan dulu sebab mengandung racun. (*)

Artikel SebelumnyaArtikel SelanjutnyaEditor: Abi | Sumber : Tribun Pontianak Dibaca : 7797
Sent from Indosat BlackBerry powered by

Kamis, 02 Juli 2009

Kenang Pater Lamber

Pater Lambert P. Seran SVD

Di Jalan Polisi Istimewa Surabaya, persis berdampingan dengan kompleks SMAK St Louis I, berdiri megah gedung SOVERDI. Ini akronim dari SOCIETAS VERBI DIVINI (juga disingkat SVD), biasa diindonesiakan dengan SERIKAT SABDA ALLAH. Sebuah kongregasi atau tarekat Katolik yang sangat terkenal di tanah air.
Asal tahu saja, misionaris SVD yang mulai masuk ke Indonesia pada 1913 itu menyumbang pastor atau imam terbanyak di Indonesia Raya, bahkan dunia.Saya sering betandang ke SOVERDI karena banyak orang Floresnya. Juga ada gudang buku NUSA INDAH, yang menyediakan buku-buku murah (dan bagus) terbitan Nusa Indah, Ende Flores. “Sejak dulu di sini memang jadi tempat mangkal orang Flores. Apalagi, waktu Kapal Ratu (Rosari) masih ada,” kata LAMBERT RESI (almarhum, orang Ende), bekas manajer Gudang Buku Nusa Indah.Bagi saya, yang jauh lebih penting, di SOVERDI ini ada Pater LAMBERTUS PADJI SERAN SVD, pastor kelahiran Hinga, Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, pada 16 Oktober 1930. Pater Lambert, sapaan akrabnya, sudah pensiun, dan kini menghabiskan masa tuanya di SOVERDI: Bikin misa. Berkebun. Merawat tanaman. Menyiram. Omong-omong. Terima tamu, karena romo ini banyak relasi. Melayani konsultasi umat. Pater Lambert kerap berkomunikasi dengan tamu dalam bahasa asing (Barat). Bahasa apa saja, monggo, karena dia poliglot alias menguasai banyak bahasa (Latin, Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, Belanda, Inggris). Kefasihannya berbahasa asing tak kalah dengan penutur asli. Selancar dia berbahasa Indonesia atau daerah (Lamaholot).“Orang yang sudah pensiun macam saya harus aktif. Tidak boleh santai, tidur-tidur saja,” ujar Pater Lambert kepada saya. Sang Pater (PATER = FATHER = ROMO = BAPAK) ini makin semangat bicara manakala ada tersedia minuman khas Flores Timur, plus jagung titi.

Bicaranya meledak-ledak, khas Adonara Timur. Nah, bagi saya, bertemu dengan Pater Lambert Padji Seran berarti bicara dalam Bahasa Lamaholot, bahasa utama di Kabupaten Flores Timur. Dia pakai dialek Adonara Timur, saya pakai dialek Ile Ape. Seru! “Wah, pokoknya kalau Pater Lambert ketemu Lambert (maksudnya, saya: LAMBERTUS LUSI HUREK) pasti seru,” komentar Lambert Resi, almarhum, teman diskusi Pater Lambert, lalu tertawa kecil.Pater Lambert punya posisi penting bagi keluarga kami. Beliaulah yang memberi nama LAMBERTUS alias LAMBERT kepada saya. Nama permandian yang sama dengan dirinya. Saya pun dipermandikan di kampung, Ile Ape, Lembata oleh Pater Lambert Padji Seran SVD. Kebetulan pada 1970-an Pater Lambert menjabat pastor paroki Ile Ape, Flores Timur. Dia juga sering menginap di rumah saya, karena dulu kondisi pastoran sangat buruk.Pater Lambert kenal baik kedua orang tua saya, NIKOLAUS N HUREK dan MARIA YULIANA (wafat 1998). Makanya, setiap kali cuti ke Flores Timur, Pater Lambert menyempatkan diri nyekar dan berdoa di makam almarhumah ibunda saya. Kalau ada pemberkatan apa-apa, menurut tradisi Katolik, keluarga kami ‘memprioritaskan’ Pater Lambert Padji Seran. Beliau yang berkati salib di kamar saya. Yah, romo sepuh ini sudah jadi pastor keluarga kami. ******* DI kalangan umat Katolik, setidaknya yang pernah mengenal dia, Pater Lambert Padji Seran SVD punya ciri khas yang sangat unik. Apa itu? Pastor ini senantiasa pakai songkok alias kopiah. Itu lho sejenis topi yang lazim dipakai jemaat muslim untuk salat. Juga lazim dipakai pejabat kita di acara-acara resmi.“Lha, romo kok pake kopiah? Kayak kiai wae,” begitu guyonan beberapa umat. [Romo kok pakai kopiah? Kayak kiai saja.] Melihat pria sepuh ini pakai kopi di kebun, mencangkul tanah, tak sedikit orang menyangka bahwa Pater Lambert itu tukang kebun atau petani. “Oh... maaf Romo, saya nggak nyangka kalau panjenengan itu pastor,” kata Sisilia, mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Surabaya suatu ketika. Pater Lambert sih tenang-tenang saja. Petani, tukang kebun, pegawai negeri, pastor... sama-sama manusia, bukan?Bagi Pater Lambert, songkok hitam itu sudah jadi bagian dari hidupnya. Dus, tak perlu dijelaskan lagi kenapa dia harus pakai penutup kepala macam itu. Kita juga tak perlu menjelaskan kenapa kita harus pakai baju, celana, kemeja, sarung, bukan? Saat memimpin misa di gereja pun Pater Lambert pakai songkok. Jubah putih, kasula, alba... plus songkok – sebuah kombinasi unik. Secara fisik, Pater Lambert itu romo berpenampilan kiai. Hehehe....Ada kesaksian menarik dari Dr. DANIEL DHAKIDAE, kini kepala penelitian dan pengembangan harian KOMPAS di Jakarta. Daniel bekas murid Pater Lambert di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi alias Seminari Tinggi Ritapiret di Flores. Dia keluar dari seminari dan melanjutkan karier sebagai sosiolog ternama.Pada 1967 Pater Lambert menjabat praefectus, semacam kepala unit para seminaris. Menurut Daniel Dhakidae, sebagai hadiah Paskah tahun itu Pater Lambert membelikan songkok (kopiah) berwarna hitam untuk semua frater alias calon pastor. Songkok itu harus dipakai para frater untuk kuliah dan acara-acara resmi lainnya. Ketika para frater di Ritapiret, tempat studi calon imam praja, kuliah di Ledalero pakai kopiah, kontan saja, menjadi bahan tontonan warga setempat. Warga yang umumnya Katolik heran melihat semua frater, calon pastor, pakai songkok kayak kaum muslimin yang mau salat jumat di masjid. “Kontras sekali dengan jubah putih para frater, sehingga begitu menarik perhatian,” kata Daniel. Apa yang hendak disasar Pater Lambert Padji Seran SVD dengan ‘gerakan songkok’ 1967? Rupanya, dia bertekad ‘mengindonesikan’ Gereja Katolik dengan caranya sendiri. Membuat gereja lebih berwajah pribumi. Gereja yang tidak berwajah Eropa atau Barat. Kebetulan, waktu itu, Presiden Soekarno dikenal sebagai pemimpin besar yang selalu pakai songkok di acara resmi mana pun. “Jangan-jangan Pater Lambert ini orangnya Bung Karno,” begitu komentar beberapa pihak yang mencoba mempolitisasikan ‘gerakan songkok’ ala Pater Lambert.KINI, 40 tahun telah berlalu. ‘Gerakan songkok’ Pater Lambert mulai jarang dibicarakan di lingkungan gereja. Diingat saja pun tak. Namun, jejaknya masih terasa sampai sekarang. Kalau tuan datang ke Flores, atau Nusa Tenggara Timur umumnya, tuan akan menemukan banyak frater atau pastor yang selalu pakai songkok. Paling banyak, songkok khas Manggarai (Flores Barat) dengan motif anyaman. Saya kira, sedikit banyak berhubungan dengan ‘rekayasa sosial’ yang dirintis Pater Lambert sejak 1967 lalu. Bagaimanapun juga, Pater Lambert guru yang baik. Dia harus kasih contoh. Karena itu, hingga hari ini Pater Lambert tak pernah melepaskan songkok dari kepalanya. Di mana pun ia berada songkok selalu menemani. Pater Lambert memang layak menyandang gelar PASTOR SONGKOK.

Rabu, 22 April 2009

Lito Pedion (Bayi yang sudah membatu)


24 Tahun Bayi Menjadi Batu di Perut

LENI JUWITA
MEMBATU - dr H Hafiz Usman SpOG memerlihatkan bayi yang sudah membatu atau dalam istilah medis Lito Pedion yang ditemukan dalam rongga perut Ny Painah (48) saat tim dokter melakukan operasi pengangkatan mioma uteri (tumor jinak) dalam rahim pasien. Operasi dilakukan Rabu (22/4) di RS dr Nosemir Baturaja.
/


Kamis, 23 April 2009 07:35 WIB
BATURAJA, KOMPAS.com - Tim dokter dikejutkan dengan ditemukannya bayi yang sudah membatu dalam rongga perut Ny Painah (48) pada saat operasi pengangkatan mioma uteri yang dilakukan tim dokter dipimpin dr H Hafiz Usman SpoG di Rumah Sakit dr Noesmir Baturaja Rabu (22/4). Bayi dengan berat sekitar 300 gram – 400 gram dan panjang 14 cm itu menurut keluarga Painah sudah menghuni perut ibunya selama 24 tahun. Namun setelah acara tujuh bulanan, bayi hilang dan perut ibunya berangsur mengecil seperti orang sudah bersalin.Dokter H Hafiz Usman SpOG mengatakan kasus ini atau dalam istilah medis Lito pedium (lito berarti batu dan pedium artinya anak) baru pertama kali ditemukan di Ogan Komering Utara (OKU). Ibu bayi mengalami kehamilan intraabdominal /ekstra utrin. Bayi meninggal dunia pada kehamilan tujuh bulan dan tidak ada jalan keluar (lahir) karena posisi bayi di dalam rongga perut atau bayi berada di luar rahim. Leni Juwita

Kamis, 16 April 2009

Pentingnya Fungsi Air Dalam Tubuh Kita

Patut kita ketahui demi kesehatan kita semua.........

KEKENTALAN DARAH DALAM TUBUH, MENGAPA TERJADI???
Ada satu pertanyaan yang masuk ke mail box saya, yaitu "Mengapa harus minum air putih banyak-banyak. .?"
Well, sebenarnya jawabannya cukup "mengerikan" tetapi karena sebuah pertanyaan jujur harus dijawab dengan jujur, maka topik tersebut bisa dijelaskan sbb: Kira-kira 80% tubuh manusia terdiri dari air. Malah ada beberapa bagian tubuh kita yang memiliki kadar air di atas 80%.Dua organ paling penting dengan kadar air di atas 80% adalah :
Otak dan Darah. !! Otak memiliki komponen air sebanyak 90%, Sementara darah memiliki Komponen air 95%. Jatah minum manusia normal sedikitnya adalah 2 liter sehari atau 8 gelas sehari.
Jumlah di atas harus ditambah bila anda seorang perokok. Air sebanyak itu diperlukan untuk mengganti cairan yang keluar dari tubuh kita lewat air seni, keringat, pernapasan, dan sekresi. Apa yang terjadi bila kita mengkonsumsi kurang dari 2 liter sehari...? Tentu tubuh akan menyeimbangkan diri. Caranya...? Dengan jalan "menyedot" air dari komponen tubuh sendiri.Dari otak...? Belum sampai segitunya (wihh...bayangkan otak kering gimana jadinya...), melainkan dari sumber terdekat : Darah. !! Darah yang disedot airnya akan menjadi kental. Akibat pengentalan darah ini, maka perjalanannya akan kurang lancar ketimbang yang encer. Saat melewati ginjal (tempat menyaring racun dari darah) Ginjal akan bekerja extra keras menyaring darah. Dan karena saringan dalam ginjal halus, tidak jarang darah yang kental bisa menyebabkan perobekan pada glomerulus ginjal. Akibatnya, air seni anda berwarna kemerahan, tanda mulai bocornya saringan ginjal. Bila dibiarkan terus menerus, anda mungkin suatu saat harus menghabiskan 400.000 rupiah seminggu untuk cuci darah Eh, tadi saya sudah bicara tentang otak ' kan ...? Nah saat darah kental meng alir lewat otak, perjalanannya agak terhambat. Otak tidak lagi "encer", dan karena sel-sel otak adalah yang paling boros mengkonsumsi makanan dan oksigen, lambatnya aliran darah ini bisa menyebabkan sel-sel otak cepat mati atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya..(ya wajarlah namanya juga kurang makan...) Bila ini ditambah dengan penyakit jantung (yang juga kerjanya tambah berat bila darah mengental.... ),maka serangan stroke bisa lebih lekas datang sekarang tinggal anda pilih: melakukan "investasi" dengan minum sedikitnya 8 gelas sehari- atau- "membayar bunga" lewat sakit ginjal atau stroke. Anda yang pilih...!